KESAKSIAN ANGIN

7 November 2009 at 11:15 pm | Posted in Gen 3, SASTRA | 2 Comments
Tags:

Oleh : Mike Putri Rahayu*

Dibalik sebuah gedung pencakar langit,

jakarta-night-view

Temaram malam menyelimut dalam keremangan Jakarta. Bintang-bintang bertabur membisu. Diantara hiruk  pikuk manusia, aku menyaksikan wanita itu diseret paksa ke balik sebuah gedung. Rontaannya seolah tak berarti tercekal tangan-tangan para lelaki yang jumlahnya entah berapa. Baju yang dikenakannya koyak moyak tak beraturan. Air mata bersimbah melelehi wajah cantiknya. Kemudian dari bibir tipisnya sayup sayup kudengar sayatan ratap mengemis belas diatas ketidakberdayaannya sebagai seorang wanita.

” Tolong, jangan ganggu saya. Kasihanilah saya!”

” Heh, bisa diam tidak?!”

Lelaki berbadan gempal penuh tato menyentak garang. Sementara tangannya mencengkram keras pergelangan tangan kiri wanita itu.

” Sabarlah, cantik! Kami hanya membutuhkanmu sebentar saja. Setelah itu kau bisa kembali pulang dengan mobilmu.”

” ha…ha…ha… ”

Alunan suara tawa komplotan itu begitu memuakkan.

” Biadab!! ” aku meradang.

Badanku meliuk keras meyampaikan protes pada alam. Maka, setan akhirnya meraja meluluhlantakkan sekeping nurani para lelaki durjana itu. Lolongan tangis seorang anak manusia yang ternistakan hanya tertelan kabut malam. Bulan sepotong turut berduka.

Sementara aku? Ingin rasanya kucabik cabik wajah setan-setan berkepala manusia itu. Ingin kuremukkan tulang-tulang mereka hingga aksi hina itu terhentikan. Karena mereka tak lebih dari srigala jahannam yang tak pantas hidup. Ah, andaikan aku punya kekuatan…

Diatas jeritan kepedihan, aku hanya mampu menatap iba. Pilu mengiris kalbuku yang meronta tak rela. 15 menit dalam selimut misteri akhirnya berlalu sudah.

Kini, kusaksikan wanita itu meringkuk ketakutan setelah setan-setan itu selesai melampiaskan nafsu terlaknat mereka. Air matanya mengalir makin deras. Dapat kulihat nyanyian kepedihan dalam tangisnya meratapi kehormatannya yang terampas paksa. Badanku meliuk lembut mencoba membelai wajah cantik wanita itu. Aku masih enggan berlalu sampai kulihat kakinya tertatih-tatih meninggal tempat dirinya diperkosa dengan begitu rupa. Terbang sudah semangat yang semula terpancar dari kedua mata sipitnya. Dari bibirnya kudengar satu rintihan:

” Tuhan, dimanakah keadilan?!”.

————–

1 tahun kemudian, di sebuah panti asuhan,

Aku kembali  menjalani tugas seperti biasa. Meniup, membelai, menghembus atau sekedar memberikan secercah kesegaran pada manusia disela-sela rutinitas mereka. Jam  menunjukkan angka 5 pagi. Aku yakin, tentulah manusia menikmati kesejukanku. Tapi ternyata tidak semua mereka menikmati kesegaran yang kutawarkan. Dikala sang surya baru merangkak naik dari peraduannya, mataku menangkap sesosok tubuh mengendap-endap di keremangan pagi. Dipangkuannya terlihat seraut mungil tertidur lelap. Tiba-tiba naluri ingin tahuku bereaksi.

Kusibak rambut yang menutupi wajah itu dengan sekali tiup hingga muncullah seraut wajah yang  sudah tidak asing lagi di pandanganku. Hei, bukankah aku pernah melihat wanita ini? Ya… tak salah lagi! Dia, wanita yang pernah kusaksikan diperkosa dengan begitu kejam. Apa yang akan diperbuatnya?

Matanya awas memperhatikan sekeliling seolah takut perbuatannya diketahui orang. Setelah yakin tidak ada siapa-siapa, dengan hati-hati diletakkannya bayi yang sedari tadi ada digendongannya. Oh tidak!baby

“jangan!!!” aku berusaha mencegah tapi suaraku hanya menggema dilorong-lorong kegelapan tanpa makna. Tergesa-gesa wanita itu menyeret kakinya menjauh. Tak lama kemudian para penghuni panti dibangunkan oleh suara tangis bayi.

“Ada bayi … ada bayi … cepat kemari !”

—————

Lima tahun kemudian, di sebuah rumah singgah,

Bocah kecil itu kuketahui bernama Tari. Entah kapan ia menjadi penghuni rumah singgah ini. Yang pasti ia dipungut tante Mir – pemilik rumah singgah ini – ketika hampir pingsan kelaparan dekat terminal Senen. Sejak saat itu resmilah Tari menyandang profesi baru sebagai seorang pengemis. Muka bulat telur, kulit putih serta mata sipitnya seperti mengingatkan aku akan seseorang. Kurangsang neuron ingatanku untuk bekerja. Kemudian di pikiranku berloncatan sinyal-sinyal sampai sebuah sketsa wajah terlukis nyata. Ah, bagaimana bisa? Mungkinkah ia anak wanita itu? Aku tak mampu memastikan.

Seperti pagi ini, aku menyapa wajahnya dengan tiupan lembut hingga rambut sebahunya melambai-lambai. Seperti biasa pula, tante Mir memulai wejangan dengan wanti-wantinya,

” Ingat ya, jam 5 sore kalian semua harus pulang. Awas, jangan coba-coba melarikan diri.ok?”

” Baik, tante.” 15 pasang kepala mentarigangguk lesu. Tak ada keriangan terpancar dari raut muka mereka.

Kembali kuperhatikan wajah mungil milik Tari. Ah, tatapan sendu itu,  seolah menagihku membelai laranya. Matanya nanar memandang langit seakan bertanya kapan kebahagiaan akan menjamah hatinya yang masih bening tak bernoda.

Aku mengiringi langkah-langkah kecil Tari menyusuri gang sempit menuju jembatan penyebrangan, sebuah tempat yang dipilihkan Tante Mir untuknya mengemis. Dengan rambut kusut masai, kaki koreng moreng dan baju penuh tambalan, Tari memang mengundang belas kasihan sesiapa saja yang memandangnya. Termasuk aku.

Dugaanku tepat! Jam baru menunjukkan angka 12 siang, tapi lembar lembar lusuh senilai lima ribu rupiah telah dikantonginya. Ketika azan zuhur berkumandang, Tari akan termangu-mangu keheranan. Kemudian langkahnya terseret pelan-pelan mendekati masjid di seberang jalan. Tari memperhatikan orang-orang berwudhu. Dengan wajah yang masih malu-malu, ia juga akan mengikuti gerakan-gerakan sholat di barisan saf paling belakang.

Kadang kala kuperhatikan tersembul dari bibirnya segaris senyum tatkala melihat ukiran kaligrafi yang terpajang indah. Satu hal yang jarang kutemui ketika Tari berada di rumah Tante Mir.

” Ya Allah, Semaikanlah hidayahMu pada hatinya yang masih putih” Kutabur sejumput do’a tulus untuk Tari.

Sinar  si raja siang mulai merangkak turun. Pukul 3 sore hari itu, Tari duduk bersimpuh seperti biasa sambil menadahkan tangan pada orang yang lalu lalang. Ketika sekonyong-konyong segerombolan remaja berandal dengan mata merah menyentak tubuh kecilnya dengan keras. Jembatan sepi, tak ada siapapun yang terlihat.

” Heh, jelek! Dapet berapa hasil lu mengemis hari ini?!”

” Ayo serahkan semua uang lu, kalau tidak…” seorang diantara mereka mengancam dibawah acungan sebilah pisau dapur. Aku tersentak. Kuperhatikan wajah Tari yang menggigil ketakutan.

” Jangan, kak! ” katanya memohon. Tapi tanpa ampun, tangan-tangan mereka telah menggerayangi kantong bajunya.

” Jangan, kak!” Tari masih mengiba.

” Diam!!! Awas kalau teriak…” Berandal itu tertawa menjijikkan  setelah mendapatkan yang mereka cari.

Darahku mendidih menahan murka. Maka dengan sekuat tenaga, kuliukkan tubuhku sekeras-kerasnya. Debu-debu  beterbangan. Tepat! Mata mereka pedih kemasukan debu.

” Angin sialan !!!” Rutuk mereka.

Aku tak peduli. Kembali kupandangi Tari. Mata bulatnya berkaca-kaca. Tubuhnya sesenggukan menahan tangis yang bisa jadi keras jika dilepas.. Tersaruk-saruk kakinya menuruni tangga jembatan. Ya Rabb… ia nekat meminta minta pada pengemudi mobil-mobil pribadi yang berhenti terhalang lampu merah. Ya, aku tahu, sedari tadi pagi, belum sebutir nasi pun menjambangi perut kosongnya.sad

” Om, sedekah, Om. Buat makan, Om.” Air mata masih tersisa di pelupuk, takut-takut Tari mendekati sebuah mobil pribadi. Di dalamnya duduk seorang Bapak berdasi. Orang itu terhenyak kaget. Lalu dengan muka masam dan tanpa perasaan ia menutup kaca mobil sambil merutuk,

” Kalau mau duit, kerja! Dasar pemalas.” Aku terpana. Seandainya aku punya air mata, pastilah sedari tadi ia telah membuncah merangkai lautan nestapa. Seandainya aku… ah…

” Wahai Zat yang maha Adil, dimanakah keadilan. Dimanakah keadilan?” kali ini kubangun tanya diatas asa.

`           Apa yang telah terjadi di negeri ini? Apakah anak bangsa ini sudah tak punya lagi kepekaan terhadap sesama? Kemana hati para tuan-tuan tanah, penghuni gedung-gedung bertingkat, pemilik perusahaan-perusahaan kelas atas?. Kemanakah LSM-LSM yang berkoar-koar mengatasnamakan HAM?. Kemanakah para pejabat yang mengaku reformis dan pancasilais berkoar-koar mengagungkan sila ” kemanusiaan yang adil dan beradab.” Begitu mudah rupiah dihambur-hamburkan di restoran-restoran, mal dan pusat perbelanjaan, hotel-hotel mewah. Sementara si miskin yang papa masih berserak dimana-mana.

Ingin kumusnahkan kesenjangan ini hingga tak ada lagi wanita-wanita yang kehilangan kehormatannya, tak ada lagi orang tua yang tega mengikis naluri keibuan dari dirinya, tak ada lagi bocah-bocah yang jadi korban manusia-manusia licik demi mengejar lembar-lembar fitnah bernama rupiah.

Ternyata aku hanya bisa berandai. Karena aku bukanlah manusia seperti mereka. Kodratku adalah angin yang harus patuh pada SunnahNya.

Entah penindasan apa lagi yang akan kusaksikan esok, lusa atau esoknya lagi. Aku hanya bisa menunggu.

*Lulusan Tafsir Al-Azhar – Gen 3 MAKN Putri

Cerpen ini adalah pemenang juara II dalam lomba karya tulis Media mahasiswa Kairo TëROBOSAN 2004.

2 Comments »

RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

  1. yang juara satu bro?
    btw yang paling menarik dari itu semua menurut ane alurnya… mantab

    • yg juara satu belum ketemu bro…makasih atas apresiasinya


Leave a comment

Blog at WordPress.com.
Entries and comments feeds.